Jumat, 02 Mei 2014

"Seruan Anti-Syiah di Bandung Merupakan Sebuah Kemunduran"

Aliansi Nasional Anti Syiah - Menerima perbedaan dan mencari persamaan adalah cara kita merawat bangsa ini.

Munculnya gerakan anti-Syiah di Jawa Barat benar-benar menunjukkan demokrasi gagal membuat masyarakat kita bersikap dewasa.

Gerakan anti-Syiah di Bandung ini menambah panjang deretan masalah perbedaan agama di Tanah Air. Kasus anti-Syiah di Sampang, Madura, hingga kini belum tuntas diselesaikan. Ribuan warga harus tinggal di pengungsian hingga bertahun-tahun.

Catatan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menunjukkan, kasus kekerasaan berlatar belakang SARA di Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir cenderung meningkat. Aksi penutupan dan perusakan tempat ibadah terus terjadi. Jawa Barat tercatat sebagai daerah dengan tingkat kekerasan berlatar belakang SARA paling tinggi.

Fenomena ini tampak ironis saat melihat India. Negara yang usianya dua tahun lebih muda dari kita justru tahun ini membuat terobosan, dengan mengakui transgender sebagai jenis kelamin ketiga sebagai bentuk kepatuhan mereka terhadap konstitusi. Mahkamah Agung India yang membuat keputusan menakjubkan itu berargumen, memilih jenis kelamin adalah hak setiap orang.

Keputusan tersebut akan menjamin hak kewarganegaraan bagi transgender sehingga tak boleh ada tindakan diskriminasi terhadap mereka. Melalui putusan itu, pemerintah India wajib menyediakan kuota dalam pekerjaan, pendidikan, dan fasilitas lain bagi para transgender, sebagaimana diberikan terhadap warga laki-laki dan perempuan.

Di Indonesia, kita tak juga selesai berkutat dengan mempersoalkan “perbedaan”, alih-alih mencari persamaan. Negara seolah membiarkan “kebencian” antarkelompok muncul, membiarkan masing-masing kelompok berebut menjadi “tirani mayoritas” dan memarginalkan kelompok lain yang nyata-nyata di hadapan kontitusi memiliki hak hidup yang sama. Sikap lamban negara menyikapi kesewenang-wenangan mayoritas membuat model gerakan seperti anti-Syiah bermunculan tak terbendung.

Kita sepakat dengan pandangan Nahdlatul Ulama yang melihat gerakan anti-Syiah ini justru akan memecah belah umat Islam. Namun, lebih dari itu, kita juga sepakat terhadap pernyataan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bahwa seruan anti-Syiah dapat dikategorikan sebagai hate speech (seruan untuk membenci) dan merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.

Jika pemerintah menuruti permintaan kelompok mayoritas untuk membubarkan sebuah kepercayaan hanya karena perbedaan, itu sama saja melanggar undang-undang (UU). Jika ada kelompok yang meminta pemerintah menuruti imbauan itu, berarti kelompok tersebut menyuruh pemerintah melanggar UU.

Bagaimana pun, kita melihat seruan anti-Syiah di Bandung merupakan sebuah kemunduran. Dalam sebuah negara yang semakin matang, perbedaan seharusnya bisa disikapi lebih dewasa. Kita semestinya paham keberagaman Indonesia—dalam soal etnis, suku, bahasa, keyakinan, dan sebagainya—justru merupakan kedigdayaan kita, bukan kelemahan. Konstitusi kita jelas-jelas menyebut dan mengakui keberagaman ini. Jadi, setiap upaya untuk “menyeragamkan” Indonesia harus dilihat sebagai penghinaan terhadap konstitusi.

Meskipun Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, tak hadir dalam deklarasi gerakan anti-Syiah (meskipun namanya terpampang dalam baliho deklarasi), pernyataan pihak pemda bahwa apa yang dilakukan kelompok tersebut merupakan hak konstitusi mereka, menurut kita kurang tepat. Gubernur sebagai repesentasi pemerintah harusnya menunjukkan sikap tegas, dengan memberikan dukungan dan jaminan hidup kepada seluruh warga negara demi tegaknya konstitusi negara.

Kita mencurigai muatan politis di balik seruan anti-Syiah yang dikumandangkan sejumlah ulama di Bandung itu. Lolosnya salah satu calon legislatif yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang kebetulan salah satu tokoh Syiah Indonesia, kita tengarai menjadi pemicu munculnya gerakan anti-Syiah itu. Kita sama sekali tak mau gerakan tersebut menjadi bola panas yang menggilas dan membumihanguskan keindonesiaan kita.

Kita harus menolak lupa bahwa berdirinya sebuah bangsa dan negara sama sekali tak bisa dilepaskan dari keberagaman. Indonesia dibangun di atas fondasi perbedaan serta didukung seluruh kelompok aliran, ajaran, dan agama. Menerima perbedaan dan mencari persamaan adalah cara kita merawat bangsa ini agar bisa bertahan.

Jangan sampai, orang-orang dangkal pikir yang mengobsesikan Indonesia menjadi negeri satu agama menggunakan gerakan-gerakan antiminoroitas macam ini untuk menghancurkan kesatuan kita sebagai bangsa. Kita harus mampu menunjukkan, yang mayoritas di negeri ini adalah kita yang menghargai perbedaan, bukan mereka yang memaksakan keseragaman. (*)

Sumber : SINAR HARAPAN
Read More

Gubernur Jabar Biarkan Deklarasi Anti-Syiah

Aliansi Nasional Anti Syiah - Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ahmad Heryawan tidak akan melarang wacana antikelompok Syiah di Bandung, Jabar. Alasannya, wacana atau diskusi tersebut tidak mengganggu ketertiban umum.

Ia juga membantah kalau gerakan anti-Syiah menguat di wilayahnya. Hal tersebut disampaikan Ahmad Heryawan usai mengikuti sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Selasa (29/4).

“Hanya pernah ada (gerakan anti-Syiah-red), bukan ramai. Kalau ramai, tiap minggu ada. Memang tidak ada pelarangan, siapa yang melarang,” kata Ahmad Heryawan.

Calon presiden (capres) hasil Pemilu Rakyat (Pemira) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menegaskan, Bandung atau Jabar hanya melarang semua bentuk aksi kekerasan.

Namun, kalau ada pihak-pihak yang mengemukakan pendapat, sepanjang pendapat biasa dan tidak memprovokasi, itu sah-sah saja. Ahmad tidak menganggap gerakan anti-Syiah sebagai sesuatu yang memprovokasi.

"Namun yang penting, pokoknya kami, siapa pun di negeri ini membawa isu apa pun sepanjang isu ini wacana diskusi, kami biarkan. Namun, kalau sudah kekerasan, urusannya mengganggu keamanan. Itu lain cerita," tuturnya.

Sementara itu, Menteri Agama Suryadharma Ali malah mengaku belum mengetahui adanya gerakan anti-Syiah di Bandung. Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tersebut menolak dianggap tidak serius menjaga kerukunan beragama atas ketidaktahuannya pada persoalan pelarangan Syiah di Bandung.

“Kok tidak serius. Oke nanti saya cek dulu ya, saya belum tahu. Benar, saya jujur belum tahu," kata Suryadharma Ali.

Bisa Dimundurkan
 
Kepala Bidang Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Muhamad Isnur berharap, DPRD Jabar bisa mengklarifikasi Ahmad Heryawan terkait pembiarannya terhadap pihak yang menyebar kebencian kepada pihak lain melalui hak-hak DPR, seperti interpelasi.

Jika perlu, DPRD Jabar mendesak yang bersangkutan untuk mundur dari jabatannya karena tidak mampu memberi rasa aman dan melindungi berbagai perbedaan keyakinan warga negara.

“Secara politik, DPRD Jabar bisa melakukan interpelasi, sama seperti Aceng Fikri (mantan Bupati Garut) gara-gara perempuan bisa diinterpelasi dan dimundurkan.

Saya pikir DPRD dan partai-partai yang mendukung pluralisme itu bisa mendorong interpelasi dan pencopotan atau pelucutan Ahmad Heriawan sebagai gubernur,” kata Muhamad Isnur.

Menurutnya, sikap Ahmad Heryawan tidak mencerminkan sikap penduduk Jabar. Apa yang dilakukan Ahmad Heryawan adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serius.

Lebih miris lagi, ia menegaskan, sikap pembiaran dilakukan gubernur yang ingin jadi capres. “Ini bukan hanya membahayakan konsntelasi Jabar, melainkan Indonesia," ujanya.

Ia menegaskan, isu agama paling mudah dijadikan bahan bakar untuk menyulut sentimen terhadap pihak tertentu.

Pada Minggu (20/4), sejumlah ulama mendeklarasikan Aliansi Nasional Anti-Syiah di Bandung, Jabar. Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Imdadun Rahmat mengatakan, seruan penolakan anti-Syiah merupakan ajakan untuk membenci pihak lain.

Hal itu dapat dikategorikan sebagai hatespeech (seruan untuk membenci) dan sama saja pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar (UUD).

Imdadun mengatakan, seruan anti-Syiah di Bandung itu merupakan sebuah kemunduran. Dalam sebuah negara yang semakin matang, perbedaan seharusnya bisa disikapi dengan lebih dewasa.

Sumber : SINAR HARAPAN
Read More

Catatan Buat ANAS: "Jika Benar Beriman, Mengapa Takut Kepada Mereka Yang Sesat?"

Aliansi Nasional Anti Syiah - ANAS bukan nama orang, ia adalah akronim dari Aliansi Nasional Anti Syiah. Itulah nama baru kelompok takfiri yang bergerombol di salah satu mesjid kecil di sebuah lorong di kota Bandung 20 April lalu. Mereka meneriakkan kebencian, bahkan ajakan membunuh sesama muslim. Ismail Amin, salah seorang alumni Wahdah Islamiyah Makassar yang sekarang belajar di Iran, memberikan catatan kritis atas aksi sekelompok orang yang mencatut nama Islam.

Saya yakin Muhammad Ngaenan masih memendam rasa sakit. Bukan karena pinggangnya masih sakit karena ditendang-tendang. Bukan juga karena dianiaya, dia sudah sadar akan tugas yang diembannya mengharuskan ia suatu waktu merelakan tubuhnya dikeroyok, dihujani bogem mentah, bahkan sampai dibunuh sekalipun.  Ia sakit hati karena yang melakukannya adalah orang-orang yang justru seharusnya menjadi penjaga dan penghias agama ini. Ia sakit hati, karena dikeroyok dan diperlakukan layaknya kriminil didepan mata mereka yang memperkenalkan diri kepada ummat sebagai ulama dan intelektual islam. Hatinya remuk redam karena bukan pembelaan yang didapatnya, tapi dipersalahkan karena cara yang berbeda yang dipilihnya dalam menjalankan Islam.

Betapa menggelikan, ketika ia menulis dalam ceritanya, ketika diseret dan hendak dipukuli, sang pengeroyok berkata, ““Jangan ganggu rapat para ulama, kita bawa saja ke samping.”  Rapat ulama? Apa yang dibicarakan para ulama yang tidak boleh diganggu itu?. Ulama yang membenarkan pemukulan dan penganiayaan hanya karena pilihan yang berbeda, itu yang disebut mewakili ummat dan pembicaraannya adalah demi masa depan ummat dan dakwah Islam yang mereka usung?.

Masa depan apa yang hendak mereka ciptakan? Masa depan yang penuh teror dan permusuhan pada sesama muslim, dan kegirangan kalau semua ummat satu pemikiran dengan apapun yang menjadi pendapatnya?. Hari itu, para ulama yang sedang rapat itu, baru saja mendeklarasikan Aliansi Nasional Anti Syiah. Aliansi yang telah memakan korban sejak hari pertama pendeklarasiannya.

Ngaenan hanyalah seorang pemburu berita, seorang wartawan, yang sayangnya bekerja untuk situs berita Ahlul Bait Indonesia [ABI] salah satu ormas Syiah di samping IJABI. Jadilah pengeroyokan tersebut menjadi luar biasa. Seorang pemburu berita dikerumuni, ditendang dan dipukuli laskar pemburu aliran sesat. Para pemburu tersebut tanpa perlu berburu, mangsanya yang datang sendiri di sarang mereka. Bukankah ini pertolongan Tuhan yang harus disyukuri habis-habisan?.

Salahkah berburu berita?. Bukankah mereka seharusnya berterimakasih pada siapapun yang meliput dan memberitakan kegiatan mereka?. Undangan yang disebar konon sampai 9 ribu pucuk, termasuk para delegator yang berasal dari beragam daerah [meskipun yang hadir pada akhirnya tidak sampai seribu]. Dan tentu memakan ongkos yang tidak sedikit. Tentu sayang, kalau kegiatan yang diklaim berskala nasional [meskipun cuma dilakukan di masjid tingkat RW] tersebut tidak mendapat liputan besar-besaran. Dan ABIpun mengutus wartawannya, untuk membantu pempublikasiannya. Tapi apa yang didapat?. Ngaenan sendiri yang langsung menulis kisah pilunya di hari Minggu.

Coba bandingkan, dengan kegiatan-kegiatan ormas-ormas dan yayasan Syiah. Wartawan dari kalangan manapun diberi keleluasan sebesar-besarnya untuk meliput kegiatan mereka. Wartawan Trans 7, yang membuat acara Khazanah yang menyudutkan Syiah, dengan santai dan tanpa gangguan apapun menghadang peserta yang menghadiri acara Seminar Internasional Idul Ghadir yang diselenggarakan IJABI di Jakarta oktober 2013 lalu untuk mereka wawancarai. Meskipun pada akhirnya berita yang mereka buat justru menyudutkan Syiah. Jangankan sekedar meliput berita, kelompok anti Syiah juga malah dibiarkan berdemonstrasi dan berunjuk rasa menolak terselenggaranya acara-acara Syiah, dan panitia dibantu keamanan merasa tidak perlu mengusir atau membuat demo tandingan. Tidak jarang, para demonstran tersebut malah disuguhi air kemasan oleh panitia. Teman yang aktif di IJABI Makassar malah menceritakan, ketika tahu diantara yang hadir dalam acara Asyura mereka adalah wartawan LPPI Makassar, dia malah mendatangi, memberi 1 kotak makanan plus bulletin al Tanwir.

Mengapa mereka begitu ketakutan ketika giliran acara mereka yang diliput?. Mengapa sampai harus menganiaya dan mengeroyok segala?. Dari situs berita Liputan Islam. Di Bogor malah pernah berlangsung bedah buku MUI yang berlangsung secara rahasia dan esklusif. Oleh panitia, para peserta dilarang meliput, merekam atau mengambil gambar sepanjang acara berlangsung. Bukan hanya itu, dibanyak acara mereka yang bertujuan memprovokasi masyarakat untuk membenci dan memusuhi Syiah, tidak dihadirkan seorangpun tokoh dari kalangan Syiah sebagai pembicara, kalaupun ada, dihadirkan tapi dilarang untuk berbicara dengan beragam alasan yang dibuat-buat sebagaimana kasus yang menimpa Habib DR. Umar Shahab, dewan pakar ABI yang diundang disebuah acara seminar sebagai pembicara, namun tidak diberi kesempatan untuk berbicara. Ketika akhirnya beliau memilih pulang, besoknya naik berita dari pihak penyelenggara yang menyebutkan, beliau pengecut dan melarikan diri dari seminar.

Satu hal yang ingin saya sampaikan. Sunni sejati tidak akan pernah mengkhawatirkan perkembangan Syiah, tidak pernah takut dengan menyebarnya aliran-aliran sesat, sedasyhat apapun. Pernahkah pembesar-pembesar NU dan Muhammadiyah (dua ormas yang paling representatif mewakili Sunni Indonesia) menyatakan kekhawatiran akan perkembangan Syiah di Indonesia? Jawabannya: TIDAK. Tentu kewaspadaan tetap ada, tapi tidak mesti diekspresikan berlebihan. Sampai sedemikian takutnya kalau pendiri IJABI yang jadi menteri agama.

Bandingkan dengan mereka yang phobia Syiah. Masih minoritas saja Syiah sudah begitu sangat menakutkan bagi mereka. Main hasud, main sembur fitnah, main rekayasa berita. Main tuding, siapapun yang membela dan simpatik pada Syiah, sudah diklaim agen Syiah.

Ini rumusnya dari Al-Qur'an :

"Wahai-wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; (karena) orang yang sesat itu tidak akan membahayakanmu apabila kamu telah mendapat petunjuk." (Qs. Al-Maidah : 105).

Sebut saja Syiah sesat. Nah kesesatan Syiah tidak akan membahayakan bagi orang-orang yang beriman. Ini janji Allah SWT. Syaratnya, jika orang-orang beriman tersebut telah mendapat petunjuk.

Nah, jika Abu Jibril, Said Shamad, Zein al Kaff, Farid Okbah, Khalil Ridwan, Ma’ruf Baharun dan seterusnya masih menganggap Syiah berbahaya, maka satu jawabannya: ITU KARENA MEREKA BELUM MENDAPAT PETUNJUK SAJA.

Wallahu ‘alam Bishshawwab

Sumber : LPPI MAKASSAR
Read More

Sabtu, 26 April 2014

Sekedar Tanggapan Terhadap Empat Poin Deklarasi Anti-Syiah di Bandung

ALIANSI NASIONAL ANTI SYIAH - Minggu pagi, 20 April 2014, di Masjid Al-Fajr, jalan Cijagra Bandung, Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) yang digagas oleh Pak Athian Dai menyeru umat Islam untuk anti syiah.

Agenda FUUI yang jelas bertentangan dengan fatwa ulama internasional. Sebagaimana diakui ulama dan cendekiawan Muslim Dunia dalam konferensi internasional yang melahirkan Risalah Amman bahwa Syiah adalah salah satu mazhab Islam yang memiliki banyak persamaan dengan mazhab Islam lainnya.

Dengan tidak berpijak pada hukum negara dan ajaran Islam, FUUI mendeklarasikan gerakan anti syiah dengan menghadirkan segelintir ulama dan orang-orang yang tidak mengenal khazanah Islam secara mendalam.

Dalam deklarasi itu disebutkan empat poin yang menjadi komitmen FUUI untuk menghadang kaum Muslimin Syiah di Indonesia.

Pertama, gerakan aliansi yang digagas FUUI sebagai wadah dakwah amar maruf nahi munkar.

Kedua, memaksimalkan upaya preventif, antisipatif, serta proaktif membela dan melindungi umat dari berbagai upaya penyesatan akidah dan syariat.

Ketiga, menjalin ukhuwah Islamiyah dengan berbagai organisasi dan gerakan dakwah di Indonesia untuk mewaspadai, menghambat, dan mencegah pengembangan Syiah.

Keempat, mendesak pemerintah agar segera melarang penyebaran paham dan ajaran Syiah, serta mencabut izin seluruh organisasi, yayasan, dan lembaga yang terkait dengan ajaran Syiah di seluruh Indonesia.

Sekedar Menanggapi

Poin pertama dan kedua jelas tidak memiliki landasan yang kuat dan cenderung subjektif karena setiap ormas Islam pasti memiliki pemaknaan tersendiri dengan amar maruf nahi munkar. Jika diarahkan untuk menyeru Muslimin Syiah menjadi Wahabiyah maka itu bukan dakwah yang diajarkan Islam. Serulah kaum Muslim Syiah dengan jalan dialog secara ilmiah, bukan dengan mengumumkan kebencian.

Poin ketiga tidak pernah terbukti. Sampai sekarang ini FUUI tidak pernah berani mengundang ulama Syiah perwakilan IJABI dan ABI, akademisi yang ahli dalam Syiah, dan pengikut Syiah sendiri yang memiliki kafasitas keilmuan tentang Syiah. Jika hanya menghadirkan orang yang menentang Syiah maka itu penghakiman. Silakan ajak dialog secara terbuka dengan perwakilan Syiah Indonesia.

Poin keempat adalah mimpi di siang bolong. Harapan yang tak akan pernah berhasil karena pemerintah Republik Indonesia memiliki landasan yang kuat dengan UUD 1945 dan Pancasila yang jelas melindungi warga negara dalam beragama dan berkeyakinan.

Terbukti sampai sekarang bahwa Indonesia memiliki sejumlah lembaga yang memiliki izin dan ormas resmi seperti Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) yang disahkan Kementerian Dalam Negeri. Deklarasinya pun mendapat restu dari Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Sekadar informasi: Presiden SBY sendiri yang menggagas persatuan ulama dan pemimpin Islam dari mazhab Sunni dan Syiah yang kemudian melahirkan Deklarasi Bogor pada 4 April 2007, dengan isi deklarasi sebagai berikut:

“Mengingat nilai-nilai dan prinsip Islam yang mulia yang bersumber dari Al-Quran yang suci dan sunnah Rasul mewariskan suatu tata perilaku yang jelas dalam seluruh aspek kehidupan;

“Meyakini bahwa norma-norma dan ajaran Islam mewajibkan seluruh Umat untuk menjunjung perdamaian (silm atau salam), keadilan dan kesetaraan (‘adalah danmusawah), kebebasan (hurriyah), toleransi (tasamuh), keseimbangan (tawazun), dan konsultasi (shura) sebagai prinsip-prinsip fundamental Islam sebagaiRahmatan lil Alamin;

“Mengakui bahwa keberagaman adalah suatu rahmat bagi Umat guna menyadari agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan satu sama lain demi manfaat bagi kesatuan Umat;

“Mengakui pula adanya kebutuhan mendesak untuk memperkuat persatuan Umat (ukhuwah Islamiyah) guna meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian terhadap semua upaya untuk menimbulkan perpecahan diantara mereka, mengacaukan tatanan, atau menyulut agitasi, kerusuhan, dan kebencian yang merusak ikatan spiritual suci diantara mereka.”

Ulama perwakilan Sunni dan Syiah yang menandatangani deklarasi Bogor tersebut adalah KH.Hasyim Muzadi (Ketua PB NU), Prof. Dr. KH Din Syamsuddin (Ketua PP Muhammadiyah), Prof. Dr. KH Jalaluddin Rakhmat (Ketua Dewan Syura IJABI), Syekh Mohammad Mehdi Taskir (Iran), Prof. Abdul Salam Al-Abadi (Yordania), Syekh Abdullah An-Nidzam (Suriah), dan Mufti Meneebu-ur Rahman (Pakistan).

Jelas bahwa poin dalam deklarasi Bogor di atas adalah pegangan umat Islam Indonesia yang direkomendasikan langsung pemerintah Republik Indonesia dan negara-negara yang ikut serta dalam kegiatan tersebut.

Sekarang coba bandingkan dengan orang-orang yang melakukan deklarasi anti Syiah di Bandung. Manakah yang lebih layak didengar dan disambut seruannya? Manakah yang lebih memiliki otoritas? Semoga akal sehat Anda masih berfungsi!

(Ahmad Sahidin, alumni UIN Bandung)

Sumber : KOMPASIANA
Read More

Kisah Lengkap Pengeroyokan Wartawan ABI Press : Saya Mewarta Saya Dianiaya

Oleh Muhammad Ngaenan

“Hati-hati ya, di sana. Itu tempat berbahaya.”

Itulah pesan korlip (koordinator liputan) saya, Lutfi, Sabtu (19/4) di malam sebelum saya berangkat untuk meliput acara Deklarasi Aliansi Anti Syiah di Bandung.

Tentu saja saya sangat sadar tugas liputan kali ini ada di ‘zona merah’. Dan tentu saya juga bukannya tidak tahu perangai orang-orang seperti mereka. Saya sendiri tidak satu-dua kali bertatap-muka dengan orang-orang seperti mereka. Bahkan saya pernah diusir saat meliput  di Masjid Muhammad Romadhon di Bekasi.

Sebagai wartawan, meski secara hukum pekerjaan saya seharusnya dilindungi Undang-Undang Pers, saya tahu persis saat melakukan peliputan ke acara-acara mereka, kehadiran saya bukan tanpa risiko.

Korlip sempat memutuskan kepada saya tidak perlu membawa kamera karena khawatir terjadi apa-apa yang tak bisa saya kendalikan. Saya pun pergi hanya berbekal kamera telepon genggam saya dan amatan mata sebagai alat reportase.

Saat itu tak terlintas dalam benak saya bahwa kekhawatiran Korlip saya akan jadi kenyataan.

Dingin udara masih membuat badan menggigil saat berangkat subuh dari kantor menuju pool bis Primajasa yang membawa saya ke Bandung. Pendingin udara di  dalam bis juga menusuk tulang seperti tak mau berkompromi dengan resleting jaket saya yang rusak, tak bisa tertutup.

Sekitar tiga jam di perjalanan, akhirnya saya sampai di Bandung, Minggu (20/4) kira-kira pukul delapan pagi. Matahari mulai meninggi saat itu. Tempias cahayanya yang menembus kaca bus membuat silau mata.

Turun dari bis, saya naik angkot merah bernomor 05 yang mengantar saya sampai di perempatan lampu merah Kecamatan Buah Batu, Bandung. Di situ, berbekal pamflet undangan terbuka di telepon genggam, saya mencari-cari di mana Masjid Al-Fajr, tempat diadakannya acara Deklarasi Aliansi Anti Syiah ini.

Memasuki ‘Zona Merah’

Setelah bertanya pada beberapa orang dan berjalan kaki sekitar 300 meter dari perempatan lampu merah, akhirnya saya sampai di pertigaan jalan Cijagra, tepat di lampu merah di depan Polsek Lengkong.

Saya hitung pertigaan itu dijaga oleh sepuluh orang berseragam putih dari kepala sampai kaki. Sepertinya mereka anggota FPI. Saat melewati mereka saya lihat mereka memperhatikan saya dengan curiga. Tapi rupanya tak hanya saya, hampir setiap orang yang melewati mereka diperlakukan dengan pandangan mata menyelidik.

Masuk ke dalam jalan Cijagra, kerumunan orang dan kendaraan yang diparkir makin memadati jalan. Sepanjang jalan menuju Masjid Al-Fajr, saya perhatikan ada tiga titik kumpul tempat sekumpulan lelaki berseragam putih dan hitam berdiri. Hampir semuanya memiliki ciri yang sama: berjenggot di dagunya.

Ada yang jenggotnya agak tipis, ada yang lebat. Beberapa memakai rompi dan tutup kepala yang menutupi wajahnya. Di setiap titik, jumlah mereka sekitar sepuluhan orang.

Selain itu ada juga yang berseragam coklat dengan tulisan LPAS di dada sebelah kiri. LPAS adalah singkatan dari ‘Laskar Pemburu Aliran Sesat’. Saya tahu singkatan itu saat saya baca tulisan di punggung mereka.

Saat sampai di dekat komplek Masjid Al-Fajr, pandangan mata saya langsung tertuju pada bentangan spanduk berwarna hijau di tengah jalan bertuliskan Deklarasi Aliansi Anti Syiah.

Di depan masjid sendiri ada sebuah spanduk besar berukuran sekitar 4×6 meter yang menjulang hingga ke dinding lantai dua Masjid. Isinya sama persis dengan selebaran undangan yang tersebar di internet.

Acara deklarasi ini setahu saya disponsori oleh Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) yang diketuai oleh Athian Ali Dai, yang sekaligus pemilik masjid tersebut.

Saya tak langsung masuk masjid saat itu. Baru sekitar pukul sembilan, saat pembawa acara mengumumkan acara dimulai, saya memasuki kompleks masjid. Itu pun di luar, tidak di dalam masjid.

Panas matahari sangat menyengat pagi itu. Sama sekali tak ada mendung yang menutupi tenda besar berwarna biru yang disediakan panitia. Tak ayal kompleks masjid dalam hitungan menit menjadi penuh sesak.

Panitia sendiri mengatakan ada sekitar tujuh ribu yang hadir. Tapi dari hitungan kasar saya, dengan luas masjid ditambah peserta yang berjubel di jalan kompleks dan lapangan depan, saya taksir tidak lebih dari 3 ribuan orang.

Acara deklarasi Aliansi Anti Syiah itu sendiri berlangsung di lantai dua Masjid. Untuk menyiasatinya panitia menggunakan dua proyektor yang dihubungkan di dua layar besar yang ada di lapangan dan di dalam masjid di lantai satu.

Pengunjung yang tidak berada di lantai dua tetap bisa melihat secara langsung acara ini. Sementara di tengah jalan kompleks dan di halaman samping tempat wudhu, disediakan dua televisi layar datar berukuran 31 inchi yang diletakkan di atas meja.

Deklarasi itu dihadiri sejumlah tokoh yang rekam jejaknya memang dikenal motor gerakan penyesatan terhadap Syiah. Beberapa tokoh yang hadir adalah KH. Abdul Hamid Baidlowi (NU), Muslim Ibrahim (Ketua MPU Aceh), KH Muhammad Said Abdus Shamad (Ketua LPPI Makassar), KH Maman Abdurrahman (Ketua Persis), KH Abdul Muis Abdullah (Ketua MUI Balikpapan), KH Ahmad Cholil Ridwan (Ketua MUI Pusat), Zein Al Kaff (tokoh Al Bayyinat), Muhammad Alkhathath (Sekjen FUI), Farid Ahmad Okbah (pakar antiSyiah), Muhammad Baharun (Ketua MUI Pusat) dan KH Athian Ali Dai (Ketua FUUI).

Dalam orasi-orasinya, semua orator memprovokasi peserta untuk memusuhi dan bersikap antipati terhadap Syiah. Mereka menggelorakan pernyataan-pernyataan yang sering saya dengar dan sepertinya selalu diulang-ulang dalam mimbar mereka. Misalnya orang Syiah, Alqurannya palsu, menghina sahabat dan istri Nabi.

Para pembicara juga melarang dialog dengan Syiah dan mewanti-wanti kekejaman Syiah di Suriah. Syiah disebut orator akan menyerang Sunni jika berkuasa. Bahkan Abu Jibril dengan sangarnya berpidato bahwa orang Syiah harus dibunuh karena kesesatan mereka yang berbahaya dan itulah hadis Nabi. Bulu kuduk saya berdiri saking ngerinya.

Dua orator utama Cholil Ridwan dan Muhammad Alkhathath mencoba mengaitkan Syiah dengan politik di Indonesia. Cholil Ridwan menyerukan  “Kita mesti menang politik dan pegang kekuasaan. Jika tidak, kita tidak bisa menghabisi Syiah!”

Sementara Al-Khattah terang-terangan mengatakan bahwa mereka siap meneken MoU pada siapa pun capres yang mau ikut membasmi Syiah. Mereka juga menyebutkan bahwa mereka tidak ingin Jokowi jadi presiden mendatang.

Beberapa kali saat para orator meneriakkan takbir, saya perhatikan hanya yang beberapa orang di lantai atas masjid, dan beberapa orang berseragam panitia di pelbagai sudut yang konsisten menyahuti.

Mayoritas peserta diam saja dan hanya mendengarkan. Hanya ketika mendekati akhir acara, teriakan takbir disambut lebih banyak oleh peserta. Kelihatannya sebagian besar datang hanya untuk mengetahui saja acara ini, pikir saya. Atau kalau datang hanya ikut-ikutan saja.

Acara orasi dari wakil berbagai ormas dan lembaga berakhir sekitar pukul dua belas siang. Beberapa ormas tersebut Persis, NU, MUI, MPU Aceh, FAAS Jawa Timur, FUI, Islamic Center al-Islam Bekasi, MMI dan FUUI.

Usai orasi, acara dilanjutkan dengan pembacaan deklarasi aliansi yang dibacakan oleh Ketua FUUI, KH. Athian Ali.

Deklarasi tersebut memuat 4 poin: aliansi dibentuk sebagai bentuk amar maruf nahi munkar, mencegah Syiah berkembang, menguatkan hubungan dengan organisasi dakwah, dan mendesak pemerintah untuk mencabut izin organisasi, yayasan, atau lembaga yang terkait Syiah di seluruh Indonesia.

Kehadiran Sosok Bachtiar Nasir

Usai deklarasi, banyak peserta yang langsung beranjak pergi. Terutama ibu-ibu, sebagian besarnya sudah langsung pulang. Separuh yang tersisa, sesuai arahan panitia melakukan shalat zuhur berjamaah.

Usai shalat berjamaah, panitia mengumumkan akan diadakan foto bersama para deklarator aliansi. Dan mengundang semua wartawan untuk naik ke lantai dua masjid. Itulah pertama kalinya saya masuk ke dalam gedung Masjid Al-Fajr.

Di lantai dua masjid, wartawan sudah berkerumun mengambil foto para orator dan deklarator yang berjejer di depan panggung. Saya turut mengambil beberapa foto, dan ikut bersama wartawan lain mengerumuni KH. Athian Ali Dai, Ketua FUUI yang menjadi penggagas acara ini.

Setelah saya rasa cukup, dan acara juga sudah selesai, saya berniat pulang. Tetapi baru saja saya jejakkan kaki di pintu keluar, saya bersenggolan dengan seorang lelaki berbaju koko biru yang saya kenal. Dia Bachtiar Nasir.

Menyadari lelaki berbaju koko biru itu adalah Bachtiar Nasir, saya langsung membatalkan niat saya untuk pulang. Baru-baru ini saja, saya mewawancari Bachtiar Nasir di rumah Hasyim Ning, Cikini, Jakarta Pusat saat konferensi pers di Forum Koalisi Politik Islam, Kamis (17/4) kemarin.

Saya ingat sekali waktu itu Bachtiar Nasir mengatakan bahwa koalisi politik Islam yang digagasnya (bersama Cholil Ridwan) akan menaungi umat Islam. Saya tanya, “Umat Islam yang mana, Pak?” Dia jawab, “Semua umat Islam”. Saya tanya lagi, “Termasuk Syiah?”, “Iya,” jawab Bachtiar. Saya merekam pernyataan itu lengkap dengan videonya.

Teringat hal itu, tentu saja asumsi-asumsi langsung berkelebatan di benak saya. Kenapa Bachtiar datang di acara ini? Kenapa ucapannya kemarin kontradiksi dengan kehadirannya hari ini?

Apakah deklarasi aliansi anti-Syiah ini adalah bagian dari langkahnya menggagas koalisi politik Islam dengan turut memberangus Syiah?

Saya ingin segera mengejar Bachtiar Nasir untuk bertanya dan memastikan dasar kehadirannya hari ini. Saya memutuskan untuk menunggunya selesai rapat.

Saya menunggu sambil tidur-tiduran di lapangan yang sudah mulai sepi di sekitar lokasi acara tanpa sadar itulah awal dari pengeroyokkan dan penganiayaan yang akan saya alami.

Digelandang dan Dipukuli

Lama saya menunggu Bachtiar Nasir keluar dari ruang rapat di lantai 2. Sekitar 2-3 jam lamanya menunggu. Saya obati kebosanan dengan tidur-tiduran di lapangan depan Masjid al-Fajr yang mulai sepi. Sesekali saya bangun, mengamati pintu keluar masjid, mencari-cari sosok Bachtiar Nasir.

Sekian lama menunggu tak membuahkan hasil. Apalagi langit sudah mulai gelap. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang. Mungkin Bachtiar Nasir sudah keluar dan saya tidak melihatnya, pikir saya.

Saya pun keluar dari kompleks masjid, berjalan ke arah samping Alfamart menunggu taksi yang lewat.  Saat sedang menunggu di pinggir jalan, seorang pria berseragam LPAS mendekati dan menanyai saya.

Melihat ada gelagat ganjil, saya menjawab seadanya saja sambil bilang bahwa saya mau pulang dan sedang menunggu taksi.

Saya belum memberitahu bahwa saya wartawan. Tapi pria itu berusaha menahan kepergian saya. Saat kami sedang berbicara, tiga pria berseragam lain ikut mendatangi saya.

Salah satunya membawa kamera perekam dan memvideokan aksi tersebut. Sampai akhirnya salah seorang dari mereka bertanya apakah saya tahu IJABI dan ABI?

Saya jawab, “Ya, saya tahu.” Begitu saya bilang seperti itu, tiba-tiba salah seorang dari mereka langsung berteriak keras…

“Kamu ABI, ya?”

Seperti dikomando, orang yang ada di samping kanan saya langsung mengapit lengan kanan saya. Yang di sebelah kiri mengapit lengan kiri saya, dan yang ketiga mendorong saya dari belakang.

Satu orang lain dengan kamera perekam terus mengvideokan saya yang digelandang paksa oleh mereka. Saya berusaha menolak, tapi mereka terus memaksa dan mulai membentak-bentak.

“Kamu Syiah, ya?”, “Kamu menyusup, ya?”

Begitu masuk gerbang masjid, hanya beberapa langkah, beberapa orang langsung mengerumuni saya. Beberapa langsung memukuli dari belakang, samping, dan depan.

Seorang berkemeja coklat mendekati saya sambil membentak, “Kamu Syiah, ya? Ngaku saja. Kamu yang ada di SMESCO, kan? Kamu yang ada di Kelapa Gading, kan?” ujarnya.

Aku jawab, “Iya.” Karena tempat yang dia sebut memang tempat peringatan acara ritual keagamaan yang pernah saya liput dan sepertinya mereka hadir sebagai pendemo di acara-acara tersebut.

Dari situ saya mulai menyadari bahwa saya sudah diincar. Apalagi mereka mengaku sudah mengenal wajah saya.

Awalnya mereka ingin membawa saya masuk ke tempat rapat di lantai satu. Tapi sempat terjadi tarik-menarik di antara mereka sendiri. Saya mendengar ada yang mengatakan, “Jangan ganggu rapat para ulama, kita bawa saja ke samping.”

Akhirnya saya dibawa ke halaman samping dekat tempat wudhu. Saat dibawa ke sana, sambil kepala saya dipiting, tubuh saya mulai jadi samsak tinju. Kebanyakan pukulan diarahkan ke arah pinggang. Saya tak tahu siapa saja yang memukul, karena kepala saya dipiting dan tak bisa melihat ke arah si pemukul.

Mata saya mulai nanar karena pukulan di kepala dan perut yang bertubi-tubi.

Sesampainya di halaman samping tempat wudhu, saya didudukkan di kursi yang ada di situ. Suasana terlihat temaram. Tak ada lampu di halaman itu. Hanya berkas cahaya ruang di sampingnya yang membantu penerangan. Saya pun tak melihat jelas wajah orang yang memukuli saya. Hanya beberapa yang kemudian tertangkap oleh mata saya.

Karena tak ada yang melindungi kepala saya, jadilah kepala saya terus-menerus sasaran empuk tinju dan tempelengan. Dari arah depan wajah, samping pelipis, dan tengkuk belakang. Banyaknya pukulan yang bertubi-tubi membuat saya pening.

Dalam hati, tak henti saya baca shalawat. Berdoa semoga saya tidak habis di tempat ini.

Dari belasan orang yang memukuli, saya ingat betul tiga wajah pemukul. Saya ingat karena saat saya didudukkan di kursi, mereka mendekatkan wajah ke muka saya sebelum melayangkan bogem mentahnya.

Hanya sekitar 30 senti jaraknya dari wajah saya, dengan mata berang mereka melotot dan gigi geraham digemeretakkan sembari membentak-bentak saya dengan kata-kata kasar.

Saat massa terus memukuli saya, seorang bertubuh besar, yang sepertinya adalah korlap mereka berteriak-teriak keras menghalangi rekan-rekannya untuk tidak terus memukuli saya. Ia mengambil kursi kosong dan meletakkannya di hadapan saya.

Meski ia berusaha menghalangi, tetap saja ada beberapa orang yang mencuri pukul penuh emosi sembari meneriakkan, “Kamu Syiah, ya?”, “Dasar sesat!”, bahkan saya dengar ada yang mengatakan, “Saya bunuh kamu!”

Tas saya dirampas oleh mereka. Korlap mereka lalu menanyai saya sambil berusaha menenangkan belasan massa yang berdiri di belakangnya dengan mata melotot, berteriak-teriak, dan beberapa mengacung-acungkan tinjunya ke udara.

Beberapa orang masih berusaha mendekat dan memukul saya. Karena merasa tak bisa mengendalikan anak buahnya, korlap bertubuh gempal dengan berewok lebat di dagu dan pipinya itu berteriak marah, “Saya bilang ikuti instruksi saya! Ikuti instruksi saya!”

Korlap itu lalu membawa saya masuk ke dalam ruangan yang ada di sebelah halaman. Di sana saya diinterogasi oleh seorang pria berbaju coklat yang mengaku sebagai intel. Ia menanyakan siapa saya dan apa yang saya kerjakan.

Saya jawab lugas bahwa saya wartawan ABI Press dan sedang melakukan peliputan. Saat ia tanya mana ID Card wartawan saya, saya bilang, tidak ada sama saya. Kebetulan ID Card wartawan saya taruh di tas yang mereka rampas tadi.

Pria berbaju coklat yang mengaku intel ini terus menuduh saya berbohong. Dan menuding saya sedang melakukan penyamaran. Ia tak percaya saya wartawan dan terus mencecar saya sebagai penyusup dan memata-matai rapat tertutup di lantai satu.

Padahal selama rapat saya hanya menunggu di luar lapangan masjid saja seraya menunggu Bachtiar Nasir keluar. Sama sekali saya tidak mendekat, apalagi masuk ke dalam ruang masjid di lantai satu tempat diadakannya rapat yang tak saya ketahui.

Sesekali saja saat saya rebahan, saya bangkit mengawasi pintu keluar kalau-kalau Bachtiar Nasir muncul. Menunggu Bachtiar Nasir rupanya berbuntut panjang.

Beberapa saat kemudian, korlap yang tadi keluar, kembali masuk. Ia memberitahu pria yang mengaku intel tersebut bahwa saya akan dibawa ke ruang rapat tempat para ulama berkumpul.

Korlap bertubuh gemuk yang corak pakaiannya didominasi warna hitam dan merah itu kemudian memiting kepala saya dengan sakitnya sambil mengatakan ia melakukan itu untuk melindungi kepala saya dari pukulan massa di luar.

Benar saja, di luar, orang-orang berseragam langsung mengerumuni saya dan kembali memukuli saya. Ada yang dengan tinju, ada yang dengan tendangan di bagian tubuh saya, yang tak terlindungi. Tetapi pitingan korlap sendiri saya rasakan sangat keras sekali, seperti hendak mencekik leher saya.

Namun saya pikir kepala saya memang aman dari pukulan karena dipiting olehnya. Hanya bagian punggung dan perut yang kena.

Di dalam masjid, saya didudukkan di dekat dinding sebelah selatan masjid. Hanya satu meter saja jaraknya dari dinding. Lampu di dalam ruangan temaram. Tak begitu terang.

Beberapa wajah tokoh yang saya kenal ada di situ. Athian Ali Dai dan Ahmad bin Zein Al-Kaff. Mereka berdiri dan terlihat berbincang dengan mimik muka serius. Beberapa anggota LPAS masih berusaha memukuli saya. Namun mereka dicegah oleh korlap mereka yang berkata, “Jangan lakukan kekerasan. Kita mesti hormati Pak Athian. Kita mesti jaga Pak Athian,” ujarnya berkali-kali.

Si Korlap berusaha menenangkan massa yang beringas yang akhirnya berhasil disuruhnya keluar dari ruangan.

Beberapa saat kemudian, ada suara yang mengatakan untuk mengambil telepon genggam saya. Karena telepon genggam saya bersandi, mereka memaksa saya membukanya. Meski diancam, saya diam saja tak menanggapi ancaman mereka.

Lalu ada yang mengatakan, “Sudah, kita buka saja di komputer.” Raib sudahlah telepon genggam dan tas saya digeledah mereka. Sementara orang yang mengaku intel tadi menyalahkan saya kenapa jika saya wartawan, tidak mengisi buku tamu wartawan.

Saya bilang, acara ini kan terbuka, jadi saya merasa tak perlu mengisi buku tamu wartawan. Beberapa teman wartawan yang saya temui juga mengaku tidak mengisi buku tamu. Karena menurut mereka acara ini adalah undangan terbuka. Selain karena padatnya orang yang mengisi buku tamu.

Di dalam masjid ada sekitar tiga puluhan orang. Hampir semuanya laki-laki. Hanya saya lihat ada dua orang ibu-ibu di sana. Satu berbaju oranye agak keemasan, di belakangnya ibu lain berbaju agak merah muda.

Saat duduk dan terus diinterogasi, seseorang meletakkan kartu wartawan dan turbah milik saya beserta kiswah yang saya jadikan kain pembungkusnya. Seorang pria berjenggot tipis maju ketika melihat turbah itu dan langsung mengambilnya.

“Apa ini? Ini turbah, ya? Haah..?” sambil mengejek dan menyorongkan turbah di tangannya itu ke dahi saya hingga kepala saya agak terdorong ke belakang. Hampir membuat saya terjungkal. Turbah adalah batu terbuat dari tanah yang biasa saya gunakan untuk sujud saat shalat.

Lelaki itu lalu mengambil  kain pembungkus turbah berwarna hijau yang diambilnya dari tasku. Kain itu yang bertuliskan lafadz berbahasa Arab dengan tulisan Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain.

Pria itu berkata, “Apa ini bunyinya?” Ahmad bin Zein al-Kaff, pengurus teras Al-Bayyinat, organisasi yang sangat membenci Syiah, yang saat itu duduk di samping kiri saya, melihat kain yang agak terlipat bertuliskan Fatimah. Tiba-tiba, dia langsung berkata, “Oh, itu Fatimah,” ujar Ahmad bin Zein Al-Kaff, terlihat diam sebentar.

“Sekarang memang miladnya Sayyidah Fathimah.” Kata Ahmad bin Zein.

Yang disebut-sebut Fatimah oleh pria dan Zein al-Kaff adalah putri Nabi Muhammad, perempuan yang sangat dihormati dalam tradisi Syiah.

Mendengar itu, lelaki tadi menurun nada suaranya. Dan pergi begitu saja dari hadapan saya.

Tak lama berselang, ada seorang lelaki berumur lanjut yang mengaku seorang ulama dari Madura. Ia mengajak saya bicara dan menceramahi saya tentang kesesatan Syiah. Ia juga mengungkit-ungkit soal Sampang. Awalnya suaranya datar, tetapi di tengah-tengah tiba-tiba suaranya meninggi dan mulai membentak saya. “Kamu nantang saya ya? Kamu goblok!” bentaknya.

Saya diam saja. Hanya saat ia selesai bicara, saya berusaha menjelaskan bahwa saya hanya wartawan yang ingin meliput peristiwa ini sesuai tugas saya. Kiai tadi tetap membentak-bentak dengan mata melotot dan rahang pipinya yang tebal  agak gemeretak sambil menunjuk-nunjukkan jarinya ke wajah saya dan menoleh ke arah lainnya.

“Lihat! Lihat! Mata kamu ini mata singa, ya? Kamu nantang, ya?” bentaknya.

Saya tak tahu seperti apa mata saya ketika itu. Yang jelas tubuh saya sakit dan lemas dipukuli banyak orang. Dan saya merasa orang di hadapan saya ini justru lebih mirip singa daripada saya. Wajahnya pemarah tanpa belas kasih.

Tiba-tiba tangan orang yang katanya ulama ini agak terangkat seperti hendak memukul saya, tapi diurungkannya.

Setelah ulama Madura itu puas menceramahi saya, kini giliran Ahmad bin Zein al-Kaff yang duduk di samping kiri saya mulai menceramahi saya tentang kesesatan Syiah.

Nada suaranya tidak sekeras Kiai sebelumnya, namun tetap dengan kemarahan yang sama. “Saya ini cucunya Sayyidah Fathimah. Kalau Syiah benar, tentu saya ikut Syiah,” ujarnya.

Setelah Zein al-Kaff bangun dari duduknya, saya duduk sendirian di situ. Korlap berbadan besar itu duduk di samping saya dan mengatakan bahwa ia melindungi saya. Kalau saya tak diajak masuk, saya pasti sudah habis dihajar oleh anggota laskar yang menunggu di luar.

Ia mengulang-ulang terus perkataannya itu. Saya hitung, lebih 15 kali ia mengatakan hal itu. Seperti berusaha keras meyakinkan saya. Saya diam saja. Memang saat itu pukulan yang saya rasakan sangat serius menghantam saya, seperti ingin melukai saya.

Saya masih ingat benar tiga wajah pengeroyok saat memukul saya dengan mata melotot sembari memonyongkan mulutnya hingga barisan giginya kelihatan. Bahkan saat saya dibawa ke dalam masjid, di tengah jalan ada orang yang sengaja membungkuk dan meninju perut saya dari arah bawah dengan upper-cut yang sangat keras sekali. Membuat saya limbung sempoyongan.

Lima meter dari tempat saya duduk, saya melihat Athian Ali Dai berdiri dikerumuni sekitar lima orang yang menyorongkan telepon genggam ke depan wajah Athian. Sepertinya mereka sedang mewawancarai Athian Ali Dai.

Usai wawancara, beberapa kali saya melihat Athian Ali Dai, Ketua FUUI yang menjadi penanggungjawab acara ini menoleh ke arah saya. Dia mondar-mandir di dalam ruangan. Keningnya terlihat mengkerut, dan kepalanya agak terlihat menunduk membetulkan letak kacamatanya beberapa kali. Ia terlihat resah.

Berbeda sekali dengan raut wajahnya yang dipenuhi senyum saat diwawancarai wartawan di lantai dua usai deklarasi tadi. Saya tak tahu apa yang ia bicarakan. Tapi beberapa saat kemudian, dari luar datang seorang polisi berompi hitam menghampiri saya.

Tas dan telepon genggam saya yang tadi direbut panitia akhirnya dikembalikan. Polisi lalu menyuruh saya mengeluarkan seluruh isi tas yang sudah dibongkar oleh panitia. Setelah itu ia berkata pada orang-orang yang ada di situ untuk menyaksikan semua isi tas.

Lalu saya disuruh memasukkan lagi semua barang itu ke dalam tas. Sehabis itu saya dibawa keluar dijaga oleh polisi yang kemudian membawa saya ke Polsek Lengkong, Buah Batu dengan sepeda motor.

Saya sampai di Polsek Lengkong sekitar pukul setengah tujuh malam. Di Polsek saya kembali diinterogasi oleh Kanit 3 Intel Polsek Lengkong yang mengaku bernama Melki di ruang intel. Awalnya ia tak percaya saat saya memberitahu bahwa saya adalah wartawan yang sedang bertugas.

Akhirnya setelah saya menghubungi Lutfi, korlip saya, ia percaya. Terlebih setelah itu datang wakil anggota DPP Ormas ABI, bernama Taqi Husaini, yang juga memberikan jaminan tentang pekerjaan saya.

Setelah itu datang juga teman-teman dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dan teman-teman Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung yang menguatkan profesi jurnalis saya di hadapan polisi.

Setelah semua kesalahfahaman diklarifikasi, polisi menyuruh saya mengisi surat keterangan. Setelah semua beres, pukul 22.30 WIB, saya bersama teman-teman wartawan dari AJI Bandung dan LBH Bandung keluar dari Polsek Lengkong.

Atas instruksi Pimred ABI Press, saya langsung menuju ke Rumah Sakit Boromeous di Jalan Dago untuk melakukan visum. Dokter menjelaskan luka bekas pukulan saya yang memar di pelipis kanan, pinggang sebelah kiri, dan di bagian perut.

Usai visum kami langsung menuju LBH Bandung. Di sana saya menceritakan kronologi pemukulan yang direkam dan dicatat oleh teman-teman AJI dan LBH Bandung.  Usai menceritakan kronologi, saya beserta Taqi Husaini, menuju kediaman kerabat di Geger Kalong untuk beristirahat. 

Melapor ke Polrestabes Bandung

Setelah cukup istirahat, Senin (21/4) sekitar jam 17.00 WIB, Pimred saya datang dari Jakarta. Setelah berbincang beberapa saat, kami pergi menuju Hotel Geulis di Dago, tempat kami akan bertemu dengan kawan-kawan dari AJI Bandung dan LBH Bandung.

Ada yang menarik di situ, saat itu Pimred saya, Musa Kadzim, memberitahu bahwa Malik, teman wartawan saya di ABI Press, dikirimi gambar-gambar penangkapan saya (yang saat ini sudah tersebar luas di internet) oleh panitia Deklarasi Aliansi Anti Syiah.

Saat saya hubungi, Malik menyebutkan bahwa pengirimnya adalah Karim, wartawan Wesal TV. Ia mengirim gambar itu sambil menulis di Whatsapp, “Ini temenmu.”

Entah apa maksud pengirim tersebut mengirimkannya ke Malik.

Sekitar pukul 20.30 WIB, menaiki mobil Avanza, kami langsung menuju ke Polrestabes untuk melaporkan penganiayaan ini. Di Polrestabes, kami melaporkan kronologi kejadian pemukulan tersebut secara lengkap.

Laporan kami tercatat dengan nomor LP/818/IV/2014/Polrestabes. Selesai mengurusi pelaporan pukul 23.30, kami melakukan konsolidasi dengan kawan-kawan AJI Bandung dan LBH Bandung. Setelah semua kelar, sekitar jam 00.30 WIB, kami bertolak dari Bandung menuju Jakarta.

Hari yang melelahkan ini pun akhirnya berakhir. Tapi tentu saja saya tahu, ini bukanlah akhir. Ini adalah awal dari lembar-lembar buku perlawanan saya mempersoalkan pengeroyokan dan penganiayaan yang saya derita. Jika mereka bermaksud menakut-nakuti saya agar tidak meliput acara mereka, maka mereka telah keliru. [] 

Sumber : ABI PRESS
Read More

Statemen Megawati Institute: Deklarasi Anti-Syiah Mencederai Komitmen Kebangsaan

ALIANSI NASIONAL ANTI SYIAH - INDONESIA adalah bangsa dan negara yang majemuk dan plural. Kemajemukan dan pluralitas itu hendaknya disikapi dengan arif, sehingga tidak mudah untuk menghakimi satu sama lain.

Pluralisme dan multikulturalisme hendaknya menjadi sebuah faham bagi masyarakat yang hidup dalam kondisi masyarakat yang demikian majemuk & plural.

Dalam kemajemukan ini juga wajar saja jika terdapat didalamnya banyak faham, keyakinan, dan perbedaan pendapat.

Menjadi tidak wajar kemudian jika perbedaan-perbedaan tersebut disikapi dengan tindakan kekerasan atau kebencian.

Demokrasi kemudian dipilih menjadi sistem bagi tatanan negara dan bangsa yang sangat majemuk ini.

Demokrasi menghargai bagi masuknya paham-paham yang oleh sebagian orang dianggap ekstrim, baik ekstrim kiri atau kanan sekalipun seperti, faham khilafah islam, komunisme, termasuk faham islam syi’ah, Ahmadiyah dll.

Oleh karenanya kami sangat menyesalkan terselenggaranya deklarasi anti syi’ah pada Minggu, 20 April 2014 lalu di Bandung.

Deklarasi tersebut menodai komitmen kebangsaan kita sebagai negara yang berjalan dalam sistem demokrasi. Deklarasi anti syiah ini mencerminkan 3 hal:
1. Semakin menguatnya sikap intoleransi masyarakat dan itu jelas cerminan pemerintah yang gagal menegakkan nilai-nilai Pancasila;

2. Semakin menguatnya sikap sektarianisme dan itu akibat dari tidak pahamnya konstitusi negara Indonesia;

3. Semakin dangkalnya pengetahuan keislaman masyarakat dan ini akibat karena pendidikan agama lebih fokus pada hal-hal yang bersifat legal-formal, sehingga lupa pada nilai-nilai esensial, seperti toleransi (at-tasamuh).

Dengan demikian sudah seharusnya pemerintah harus tegas terhadap kelompok-kelompok intoleran, jika tidak maka dapat memicu terjadinya konflik horisontal.

Jakarta, 21 April 2014
Musdah Mulia
Direktur Eksekutif
Read More

PBNU : Jangan Menafikan Syiah

ALIANSI NASIONAL ANTI SYIAH - Gerakan anti-Syiah di Bandung, Jawa Barat, dinilai sebagai sikap yang tidak perlu dari sudut pandang persatuan umat. Gerakan tersebut justru akan memecah belah umat Islam.

“Realitasnya, Syiah ada dan besar. Keberadaannya signifikan, bukan hanya di Indonesia, melainkan dunia. Jadi, saling meniadakan itu tidak mungkin. Sunni dan Syiah ada dan tidak boleh menegasi. Sama halnya seperti Kristen, ada Kristen Katolik ada Kristen Protestan,” kata Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Slamet Effendi Yusuf kepada SH, di Jakarta, Selasa 22 April 2014.

Apalagi jika dilihat dari hakikat hak asasi manusia. Setiap manusia memiliki kebebasan memeluk agama sesuai hati nuraninya. Syiah, Slamet menegaskan, tidak bisa dikatakan bukan golongan Islam karena ada dalam sejarah politik Islam maupun pemikiran Islam.

Slamet mengatakan, sebaiknya tidak dilakukan gerakan anti-Syiah. Ini karena Indonesia adalah negara demokratis yang secara konstitusional menyerahkan sepenuhnya kepada setiap orang untuk memilih keyakinannya dalam beragama.

“Kalau dilihat dari aspek yang berkaitan dengan perspektif keamanan, hal seperti ini (gerakan anti-Syiah-red) akan sangat makin memungkinkan konflik-konflik langsung antara Sunni dan Syiah. Sebaiknya fokus meningkatkan dakwah umat Islam, sehingga orang-orang Sunni tidak berpindah aliran atau agama,” ujarnya.

Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Al Muzzamil Yusuf, mengaku belum tahu adanya gerakan anti-Syiah di Bandung. Ia menolak menanggapi pro atau kontra terkait adanya gerakan ini.

“Saya nggak tahu. Saya ini lagi fokus pada kecurangan pemilu. Saya kira, berbagai pihak harus saling menjaga keamanan, tidak saling menyulut dan jangan sampai ada kekerasan. Ini masih dalam tahap penghitungan suara dan jelang pilpres (pemilihan presiden). Pihak keamanan perlu menjaga keamanan karena situasi politik saat ini tengah memanas,” tuturnya.

Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, juga belum bersedia menjawab soal ini ketika dihubungi. Sebelumnya, Minggu 20 April 2014 Aliansi Nasional Anti-Syiah di Jalan Cijagra, Bandung, mendeklarasikan empat poin komitmen dan tekad untuk mengadang ajaran Syiah di Indonesia. Dalam acara itu, penyelenggara turut mengundang Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan.

Namun, ia tidak hadir dalam acara tersebut. Nama kader PKS itu tercantum pada baliho besar acara di depan Masjid Al-Fajr milik Ketua Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI), Athian Ali M Dai, yang menjadi tempat deklarasi.

Lupakan Bhinneka Tunggal Ika

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Willy Aditya menegaskan, deklarasi anti-Syiah memperlihatkan dilupakannya Bhinneka Tunggal Ika yang menaungi seluruh perbedaan.

“Deklarasi anti-Syiah ini sudah berulang kali terjadi. Di Sampang, warga Syiah sampai terusir dari tanah dan tempat mereka lahir. Ini sesungguhnya mencemaskan, kita seolah lupa ada Bhinneka Tunggal Ika yang menaungi seluruh perbedaan. Indonesia ini dibangun di atas fondasi perbedaan dan didukung seluruh kelompok aliran, ajaran, dan agama,” kata Willy di Jakarta, Selasa.

Willy berharap, cara-cara deklarasi antiajaran lain sebaiknya ditinggalkan. Sebagai warga negara, ada pekerjaan besar yang harus dilaksanakan, yaitu mengejar ketertinggalan dari negara lain. “Sebagai warga negara yang plural, kita wajib belajar dari para pendiri bangsa yang menerima setiap perbedaan,” serunya.

Ia mengingatkan, deklarasi anti terhadap golongan ataupun aliran agama tertentu juga tak digunakan untuk kampanye hitam membentuk opini publik pada Pemilu 2014. “Sayang bila kita masih bertikai soal seperti ini. Harusnya level perdebatan kita sudah soal program dan apa yang akan bisa memajukan bangsa, bukan lagi soal keyakinan, bukan lagi soal yang merusak kebinekaan kita,” ujarnya.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sebelumnya menyatakan seruan anti-Syiah dapat dikategorikan hate speech (seruan untuk membenci) dan pelanggaran terhadap konstitusi.

“Kalau ada seruan membubarkan sebuah kepercayaan hanya karena perbedaan, itu sama saja melanggar undang-undang. Kalau meminta pemerintah menuruti imbauan itu, berarti menyuruh pemerintah melanggar undang-undang,” kata anggota Komnas HAM, Imdadun Rahmat kepada SH, Senin (21/4).

Ia berharap pemerintah mengambil langkah tegas dan tidak menggubris seruan yang disampaikan sejumlah ulama tersebut. Imdadun juga mengkritik Gubernur Jawa Barat yang menyatakan dukungannya kepada aksi anti-Syiah.

Seorang kepala daerah seharusnya memberikan dukungan dan jaminan hidup kepada seluruh warga negara demi tegaknya konstitusi negara. “Kalau ada kepala daerah mendukung, itu sama saja melanggar undang-undang,” ujarnya.

Dialog

Anggota Komisi VIII DPR, Ali Maschan Moesa menyatakan, kisruh seputar gerakan anti-Syiah di Bandung harus diselesaikan dengan cara berdialog. Kementerian Agama harus mememfasilitasi permasalahan yang terjadi antara gerakan Syiah dan Aliansi Nasional Anti-Syiah. Pergerakan apa pun yang terjadi saat ini tidak boleh direspons dengan kekerasan.

“Perbedaan etnis, keyakinan, apakah komunitas lainya, menurut saya masalah ini tidak bisa diseret-seret menggunakan kekerasan. Harusnya diajak berdialog,” tutur Ali saat dihubungi di Jakarta, Rabu (23/4).

Menurutnya, hal yang berhubungan dengan sebuah keyakinan tidak harus ketemu. “Intinya adalah saling memahami satu sama lain,” katanya.

Hal yang mendasari masalah ini, Ali mengatakan, adalah keegoisan kedua belah pihak yang dalam konteks pluralitas hal ini tidak bisa terjadi. Agama Islam itu tidak satu warna, tetapi bermacam-macam warna. Di tengah pluralitas masyarakat Indonesia yang tinggi, yang harus dikembangkan adalah hal yang positif.

Ali juga mengungkapkan, saat ini Komisi VIII masih menyusun undang-undang tentang kerukunan umat beragama. “Masih dalam draf awal. Itu inisiatif dari pemerintah. Kita tunggu itu,” ujarnya. []

Sumber : SINAR HARAPAN
Read More

Negara Jangan Biarkan Anti-Syiah

ALIANSI NASIONAL ANTI SYIAH - Pemerintah seharusnya membatasi ruang gerak kelompok-kelompok yang kerap memprovokasi kebencian terhadap kelompok masyarakat lain. Pemerintah tidak perlu memfasilitasi gerakan, apalagi mendukung kelompok masyarakat yang terang-terangan menyerukan kebencian terhadap sesama warga negara.

Demikian dinyatakan Direktur Eksekutif Maarif Institute. Fajar Riza Ul Haq, Jakarta, Kamis (24/4), menyikapi gerakan deklarasi anti-Syiah di Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Menurutnya, sudah saatnya Indonesia mempertimbangkan membuat Undang-Undang (UU) Antipenyebaran Ucapan Kebencian (hate speech).

"Seyogianya, pemerintah fokus mengantisipasi munculnya kelompok-kelompok yang berupaya menyebar kebencian. Memang tidak bisa negara membubarkan begitu saja karena berlawanan dengan prinsip kebebasan, tetapi paling tidak jangan sampai memprovokasi ke arah kekerasan," ujar Fajar.

Ia mengatakan, negara juga tidak boleh berkompromi ketika ucapan kebencian berujung tindakan kriminal. Ketika ada tindakan kriminal, penegak hukum harus segera mengambil langkah hukum yang tegas.

Fajar menyesalkan, belum adanya UU mengenai ucapan kebencian, membuat masyarakat mudah memprovokasi dalam mimbar-mimbar agama, tanpa diproses hukum. Jika ada UU ucapan kebencian, ucapan kebencian bisa dikategorikan kriminal.

Tetapi, Fajar mengingatkan, jika ada UU ucapan kebencian, jangan sampai justru membatasi atau berlawanan dengan prinsip kebebasan berpendapat. Ia juga meminta masyarakat lebih dewasa menyikapi perbedaan. Jangan mudah terprovokasi. Kelompok-kelompok di masyarakat harus terus memodernisasi perbedaan yang ada.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi, menolak berkomentar soal pembentukan gerakan anti-Syiah yang didukung pemerintah Jawa Barat. Menurut Gamawan, itu merupakan urusan Kementerian Agama (Kemenag). "Lebih tepat itu ditanyakan ke Kemenag," tuturnya, Rabu (23/4).

Anggota DPD Kepulauan Riau (Kepri), Djasamen Purba mengatakan, masih adanya masalah pimordial gerakan sektarian merupakan langkah mundur di Indonesia saat ini. Hal tersebut terjadi karena pemerintah tidak tegas menegakkan aturan, sekalipun sudah diatur dalam konstitusi dan UU. “Harusnya pemerintah tegas. Kalau tidak tegas, masalah seperti ini tetap ada,” ucapnya.

Ia berharap pemerintah mengambil tindakan, tidak membiarkan. Adanya upaya menghasut yang menimbulkan kebencian terhadap kalangan tertentu harus disikapi bijak oleh pemerintah. “Negara tidak boleh kalah berhadapan dengan kelompok tertentu yang merongrong. Itu tugas negara, memastikan semua warganya dalam kondisi aman,” ujar Djasamen.

Ia juga menyayangkan sikap Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang diundang dalam deklarasi anti-Syiah tersebut. Seharusnya selaku kepala daerah, ia berdiri di atas semua golongan untuk menegakkan konstitusi, bukan mendukung pelanggaran terhadap aturan.

Seperti diberitakan, Minggu (20/4) kemarin, Aliansi Nasional Anti-Syiah di Jalan Cijagra, Bandung, mendeklarasikan empat poin komitmen dan tekad mengadang ajaran Syiah di Indonesia. Penyelenggara juga mengundang Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, namun ia tidak hadir.

Nama kader Partai Keadilan Sejahtera itu (PKS) itu tercantum di baliho besar acara di depan Masjid Al-Fajr milik Ketua Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) Athian Ali M Dai, yang menjadi tempat deklarasi. (Inno Jemabut)

Sumber : SINAR HARAPAN
Read More

Kultwit Tempo Institute Soal Dukungan Gubernur Jabar Terhadap Deklarasi Anti-Syiah

1-Pernyataan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang mendukung deklarasi gerakan anti-Syiah merupakan blunder besar. #TajukTempo

2-Sikap itu bisa menjadi bom waktu yg bs sulut tindakan kekerasan yg luas. Tindakan tsbt tak bs ditenggang. #TajukTempo

3-Sebagai kepala daerah, Ahmad Heryawan semestinya menjamin hak asasi seluruh warganya, termasuk hak untuk memilih keyakinan. #TajukTempo

4-Yg dilakukan Aher tak bs diterima akal sehat. Senin lalu, dia mmg urung hadir dlm deklarasi Aliansi Nasional Anti-Syiah di Bdg #TajukTempo

5-Tp Aher kirim utusan Asisten Kesra Jabar Ahmad Hadadi yg bacakan sambutan tertulis dari Aher yg menyatakan #TajukTempo

6-PemProv JaBar beri dukungan pd seluruh umat Islam yg pelihara nilai2 kebaikan&keislaman hingga tak ternodai dgn ajaran2 sesat #TajukTempo

7-Ajaran sesat menurut siapa? Soal hak asasi berkeyakinan &jaminan perlindungan thdp kaum minoritas, mestinya Aher sudah mafhum #TajukTempo

8-Pasal 28E ayat 1 UUD 1945 jelas nyatakan kebebasan memeluk agama &beribadat menurut agamanya merupakan hak yang dijamin negara #TajukTempo

9-blh saja scr pribadi Aher tak sepaham dgn Syiah, tp sbg kepala daerah ia harus lindungi seluruh warga tanpa kecuali #TajukTempo

10-Yg hrs dilindungi negara tak hny mayoritas. minoritas yg butuhkan perlindungan mlh tak diayomi/dibiarkan jd obyek kekerasan #TajukTempo

11-Pola pikir seperti itu hanya akan mengekalkan tirani mayoritas. Itulah yang terjadi selama ini. #TajukTempo

12-Kelompok yang berkeyakinan berbeda, seperti Ahmadiyah dan Syiah, kerap dizalimi, dan aparatur negara tak melindungi mereka #TajukTempo

13-Gub Jabar hrs cabut pernyataannya itu. Tindakan itu telah khianati rakyat&konstitusi. Dukungan seperti itu bs berdampak fatal #TajukTempo

14-Pengusiran warga Syiah dr Sampang tlh jd buktinya. Diamnya pemerintah dianggap sbg dukungan thdp kekerasan atas warga Syiah #TajukTempo

15-Rumah mrk dibakar warga diusir bak pesakitan selama berbulan-bulan, jatah makan &akses air bersih bagi ratusan orang dibatasi #TajukTempo

16-Laporan 4 lembaga negara-Komnas Perempuan, Komnas HAM, KPAI, &LPSK-Agustus 2012 nyatakan penindasan ini bs ngarah ke genosida #TajukTempo

17-Keputusan Aher ini bs kirim sinyal mengkhawatirkan: negara sekali lagi tak mampu beri perlindungan thdp kelompok minoritas #TajukTempo

18- Negara tunduk kepada desakan segerombolan orang yang tidak paham makna toleransi dan punya nafsu mengebiri hak asasi manusia #TajukTempo

Read More

Mendagri Harus Tegur Gubernur Jabar Ahmad Heryawan

ALIANSI NASIONAL ANTI SYIAH - Komisioner Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Natalius Pigai, mendesak Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menegur atau meminta klarifikasi dari Gubernur Jawa Barat (Jabar), Ahmad Heryawan, terkait dukungannya terhadap deklarasi anti-Syiah di Bandung, Jabar, beberapa waktu lalu.

“Sesuai UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan Mendagri adalah pembina kepala daerah. Kapasitas ini harus digunakan Mendagri untuk menanyakan alasan kedatangan Gubernur Jabar (yang diwakili Asisten Daerah Bidang Kesra HA Hadadi) dalam deklarasi itu,” ujarnya di Jakarta, Jumat (25/4).

Minggu (20/4), sejumlah ulama mendeklarasikan Aliansi Nasional Anti-Syiah di markas Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI), Jalan Cijagra, Bandung. Deklarasi itu memuat empat komitmen dan tekad untuk mengadang ajaran Syiah di Indonesia. Penyelenggara juga mengundang Gubernur Jabar Ahmad Heryawan. Namun, kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu batal hadir. Nama Ahmad tercantum pada baliho besar acara di depan Masjid Al-Fajr milik Ketua FUUI, Athian Ali.

Meski Gubernur Jabar tidak datang, ia mendukung sepenuhnya deklarasi Aliansi Nasional Anti-Syiah ini, seperti diungkapkan Asisten Daerah Bidang Kesra HA Hadadi yang diutus mewakili gubernur. “Seperti dinyatakan yang mewakili Pak Gubernur (Hadadi), beliau (Ahmad Heryawan) mendukung sepenuhnya acara ini, agar agama Islam tidak dinodai aliran-aliran sesat seperti Syiah,” kata Athian Ali usai deklarasi.

Menanggapi deklarasi anti-Syiah ini, Natalius menegaskan, dalam konteks HAM—yang di antaranya termasuk kebebasan individu menjalankan ibadah sesuai keyakinannya—pemerintah mempunyai kewajiban untuk melindungi. Kebebasan menjalankan ibadah juga diatur dalam instrumen hukum nasional, internasional, dan hukum HAM.

Oleh karena itu, Komnas HAM meminta deklarasi disikapi betul oleh pemerintah pusat, yaitu presiden. Apalagi, deklarasi ini dihadiri gubernur sehingga dikhawatirkan masyarakat dapat menjustifikasi pemerintah anti-Syiah. Natalius juga berharap deklarasi anti-Syiah tidak memunculkan interpretasi atas kelompok intoleran.

Ambil Keuntungan

Imparsial mengingatkan adanya potensi partai politik (parpol) yang mengambil keuntungan di balik deklarasi anti-Syiah di Bandung, beberapa waktu lalu. Penegak hukum, dalam hal ini Polda Jabar dan jajarannya, diminta dapat menindak bila dalam kegiatan tersebut terbukti terjadi hasutan kebencian yang dapat berujung permusuhan dan kekerasan.

Koordinator Riset Imparsial, Ghufron Mabruri, mengemukakan deklarasi anti-Syiah tersebut mencerminkan adanya pertentangan terhadap keberagaman di Indonesia. “Apa pun mazhab atau keyakinan, harus dijamin dan dilindungi negara. Deklarasi itu mencederai semangat keberagaman yang telah dijaga,” ujar Ghufron kepada SH, di Jakarta, Kamis (24/4).

Keterlibatan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan yang diundang dan mendukung deklarasi tersebut sangat disayangkan dan mendapat kritikan tajam. Pasalnya, dukungan terhadap anti-Syiah dipandang bertentangan dengan konstitusi. “Dia (Gubernur) diamanatkan untuk menjamin semua golongan. Dengan menghadiri deklarasi itu (yang diwakili Asisten Daerah Bidang Kesra HA Hadadi), dia mengkhianati konstitusi,” seru Ghufron.

Ia menekankan, deklarasi yang mengandung unsur hasutan kebencian, permusuhan, atau kekerasan, seharusnya dapat menjadi pintu masuk bagi aparat penegak hukum untuk menindak. “Tidak perlu menunggu adanya kasus paskadeklarasi itu,” tuturnya.

Ghufron mengingatkan, isu intoleransi beragama di Indonesia sangat rawan, baik di tingkat daerah maupun nasional, terlebih jelang atau saat pelaksanaan pemilu, seperti pada 2007 dan 2008. Ketika itu, isu penolakan Ahmadiyah gencar dilakukan hingga keluar keputusan bersama oleh tiga menteri. Pada 2009, ternyata ada kelompok atau parpol yang mengambil keuntungan.

“Isu seperti ini selalu rentan untuk menarik suara,” kata Ghufron, seraya mengingatkan, bila eskalasi semakin membesar tidak tertutup kemungkinan pola seperti pada 2007 dan 2008 dapat terulang.

Ghufron juga mengkritik Komnas HAM yang terkesan diam terhadap kasus seperti ini. Menurutnya, Komnas HAM seyogianya aktif menyosialisasikan kebebasan beragama di Indonesia. “Seharusnya Komnas HAM mendekati aparatur negara setempat untuk menjamin kebebasan beragama,” katanya. []

Sumber : SINAR HARAPAN
Read More
© Official Blog of Aliansi Nasional Anti Syiah All rights reserved | Theme Designed by Seo Blogger Templates